Dalam hukum keluarga, sering dijumpai adanya istilah warisan dan hibah. Meskipun keduanya dapat disebut sebagai peralihan hak kepemilikan dari suatu harta atau benda, namun nyatanya kedua hal tersebut berada dalam aturan dan mekanisme yang berbeda. Berdasar pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hibah tidak termasuk cakupan materi dari hukum waris yang diatur dalam buku II KUHPerdata melainkan hibah termasuk dalam materi perikatan yang diatur dalam buku III bab X Pasal 1666 - 1963 KUHPerdata.1 Selain itu hibah juga dapat dilaksanakan pada saat yang sama penerima hibah dan pemberi hibah dalam keadaan hidup.2 Berbeda dengan warisan yang mana salah satu proses pewarisan dalam hukum waris adalah adanya seseorang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta atau benda yang diwariskan kepada Ahli Waris.3
Berfokus pada hibah, meskipun dalam pelaksanaannya hibah sering dikatakan peralihan hak milik termudah karena kedua belah pihak (penghibah dan penerima hibah) dalam keadaan hidup, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Tidak sedikit dalam pelaksanaan hibah sering terjadi sengketa dan berujung pada penarikan dan pembatalan hibah. Sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik antar pihak dan berdampak pula pada objek yang dihibahkan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, timbul beberapa pertanyaan yang akan diulas dalam artikel ini yaitu: (1) Apa pengertian hibah menurut hukum positif Indonesia? (2) Bagaimana mekanisme pembatalan hibah? dan (3) Apa dampak pembatalan hibah terhadap objek yang dihibahkan?
Pengertian hibah dapat dijumpai di beberapa pengaturan hukum di Indonesia. Dalam KUHPerdata, pengertian hibah tercantum dalam Pasal 1666 yang menyatakan bahwa, Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma – cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Selain KUHPerdata, pengertian hibah dapat ditemui dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (g) yang menyatakan bahwa, Hibah adalah pemberian sesuatu benda secara suka rela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat diketahui beberapa unsur yang menjadi landasan hibah, yaitu: (1) hibah dengan cuma-cuma, (2) tidak dapat ditarik kembali, dan (3) dilakukan di masa hidupnya.4 Sehingga apabila tidak terpenuhinya salah satu unsur tersebut, maka hibah tidak dapat dilaksanakan yang berakhir penarikan atau pembatalan.
Pada prinsipnya hibah yang telah diberikan kepada orang lain tidak dapat ditarik atau dibatalkan sebagaimana merujuk pada pasal 211 KHI yang menyebutkan, bahwa “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya”. Implikasinya, penarikan atau pembatalan hibah merupakan perbuatan yang diharamkan.5 Hal tersebut juga senada dengan KUHPerdata yang menyebutkan salah satu unsur hibah adalah tidak dapat ditarik kembali.6 Namun meskipun demikian, dalam KUHPerdata juga terdapat pengecualian terhadap pembatalan hibah yang tercantum dalam Pasal 1688 KUHPerdata, yaitu:
- Karena tidak dipenuhi syarat – syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan. Dalam hal ini apabila tidak terpenuhinya syarat – syarat hibah oleh penerima hibah sebagaimana yang telah diatur oleh undang – undang.
- Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah. Dalam hal ini apabila si penerima hibah telah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang mengancam jiwa pemberi hibah atau perbuatan lain yang melanggar undang – undang yang diancam dengan pidana.
- Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan. Dalam hal ini apabila penerima hibah menolak memberi bantuan nafkah kepada si pemberi hibah bilamana ia mengalami penurunan kondisi perekonomian dan/atau jatuh miskin.
Proses pembatalan hibah pada dasarnya hanya dapat dilakukan dengan cara pengajuan gugatan materi pokok pembatalan hibah kepada Pengadilan Negeri. Pengajuan gugatan tersebut dimintakan oleh penghibah yang diajukan ke Pengadilan Negeri, supaya hibah tersebut dibatalkan dan dikembalikan kepadanya.7 Penyelesaian sengketa hibah melalui Pengadilan Negeri akan mempusatkan semua keputusan berada di tangan Hakim dengan memperhatikan hak dan kewajiban para pihak beserta objek yang disengketakan. Hasil dari putusan tersebut akan menimbulkan hak dan hubungan hukum baru antara para pihak serta kedudukan hukum baru terhadap objek yang disengketakan.8
Akibat hukum putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam hal perkara pembatalan hibah adalah batal demi hukum. Batal demi hukum ini tergolong dalam bentuk kebatalan absolut yang mana atas perbuatan hukum tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum tidak memiliki akibat hukum.9 Akibat dari kebatalan hukum adalah berlaku surut kembali pada keadaan semula (ex tunch).10 Implikasinya, kepemilikan atas objek hibah akan kembali kepada penghibah sehingga objek hibah kembali menjadi hak miliknya sendiri. Selain itu penerima hibah wajib mengembalikan objek hibah kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban yang melekat atas barang tersebut.11
Apabila yang dihibahkan adalah rumah, maka penerima hibah wajib meninggalkan rumah tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Apabila yang dihibahkan sebidang tanah dan jika terdapat bangunan permanen diatasnya, maka penerima hibah wajib merobohkan bangunan tersebut dan harus meratakan kembali tanahnya seperti dalam keadaan semula. Sedangkan apabila objek hibah telah dibalik nama atau disertifikasi atas nama penerima hibah, maka sertifikat tersebut tidak berlaku kembali dan kembali disertifikasi atas nama penghibah setelah mengajukan permohonan ke lembaga terkait.
Daftar Referensi:
- Meylita Stansya Rosalina Oping, 2017, “Pembatalan Hibah Menurut Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Lex Privatum, Vol. 5 No. 7, hlm. 29, diakses dari: https://ejournal.unsrat.ac.id
- Jinner Sidauruk, Lenny Verawaty Siregar, 2011, “Tinjauan Hukum tentang Hibah sebagai Salah Satu Cara Peralihan Hak Menurut KUHPerdata”, Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen, hlm. 7, diakses dari: http://akademik.uhn.ac.id
- Meylita Stansya Rosalina Oping, loc.cit.
- Azni, 2016, “Eksistensi Hibah dan Posibilitas Pembatalannya dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 40, No. 2, hlm. 100, diakses dari: http://moraref.kemenag.go.id
- Ibid, hal. 106.
- Pasal 1666 KUHPerdata
- Meylita Stansya Rosalina Oping, op.cit. hlm. 32. Ibid, hlm. 33
- Amirudin Fardianzah, 2016, “Pembatalan Akta Hibah yang Dibuat di Hadapan PPAT oleh Pemberi Hibah”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, hlm. 18.
- Ibid, hlm. 20.
- Suparman Eman, 2014, “Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW”, Bandung: PT Refika Aditama, hlm. 87.