Perjanjian Perkawinan merupakan bentuk perjanjian yang mengikat dua belah pihak antara suami dan istri yang terjadi sebelum perkawinan (prenuptial agreement) atau sesudah perkawinan (postnuptial agreement). Alasan suami-istri membuat perjanjian perkawinan ialah 1 untuk melindungi aset yang dimiliki secara pribadi atau secara bersama-sama.1 Selain itu perjanjian perkawinan juga digunakan untuk menjaga kepentingan usaha dan martabat masing- masing suami-istri.
Namun apabila melihat dari kacamata masyarakat terhadap perjanjian perkawinan, banyak yang mempertanyakan pentingnya perjanjian perkawinan dalam sebuah keluarga. Tidak sedikit pula yang menyederhanakan bahwa ikatan perkawinan berangkat dari rasa percaya sehingga minim konflik diantara pasangan suami-istri. Faktanya, hal tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan.
Berangkat dari isu dan pandangan masyarakat tersebut maka perlu diulas mengenai urgensi perjanjian perkawinan, yaitu: (1) Bagaimana pengaturan Perjanjian Perkawinan di Indonesia? dan (2) Apa urgensi adanya Perjanjian Perkawinan dalam ikatan perkawinan?
(1) PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN DI INDONESIA
Pada pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (“KUHPer”) disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta. Kemudian mengenai Perjanjian Perkawinan lebih jelasnya diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyebutkan bahwa:
Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.2
Dari aturan tersebut menegaskan bahwa calon pasangan suami-istri dan/atau pasangan suami-istri dibolehkan untuk membuat Perjanjian Perkawinan secara tertulis pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan pula harus dibuat dengan akta notaris.3 Pengadaan notaris bertujuan untuk menghindari pembuatan perjanjian perkawinan di bawah tangan yang lemah hukum yang dapat dipalsukan atau diubah. Oleh sebab akta notaris bersifat mutlak, maka apabila tidak terpenuhi akan menyebabkan perjanjian perkawinan menjadi batal.
Mengenai isi atau materi di dalam perjanjian perkawinan ditentukan dan disepakati oleh pasangan suami-istri asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, tata asusila, dan ketertiban umum. Selaras dengan perspektif hukum Islam yang menyebutkan perjanjian perkawinan merupakan aspek muamalah, sehingga para pihak bebas memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum Islam.4 Hal - hal yang umumnya diatur dalam perjanjian perkawinan yaitu:5 (i) Harta bawaan dalam perkawinan; (ii) Hutang piutang yang dibawa oleh suami atau istri; (iii) Hak dan kewenangan istri dalam mengurus harta pribadinya; dan/atau (iv) Pencabutan wasiat serta ketentuan lain yang melindungi harta masing-masing pihak.
(2) URGENSIPERJANJIAN PERKAWINAN DALAM IKATAN PERKAWINAN
Perjanjian perkawinan pada dasarnya dibuat untuk melindungi kedudukan para pihak apabila terjadi konflik selama ikatan perkawinan dan memberikan kepastian hukum terhadap harta benda yang dimiliki secara pribadi maupun bersama-sama (Gono gini). Pembuatan perjanjian perkawinan oleh pihak suami-istri berfungsi sebagai tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya konflik selama terjadinya ikatan perkawinan. Perjanjian ini dijadikan pegangan oleh pasangan suami-istri agar hubungan dalam ikatan perkawinan lebih aman dan terjamin.6 Mengingat bahwa kedudukan suami dalam ikatan perkawinan lebih mendominasi daripada istri, maka perjanjian perkawinan memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban istri.
Selain melindungi kedudukan suami-istri, perjanjian perkawinan juga berfungsi sebagai kepastian hukum bagi pihak di luar suami-istri (pihak ke tiga) yang patut mendapatkan perlindungan dari perjanjian perkawinan yang tercipta.7 Kedudukan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang membawa akibat terhadap perubahan status hukum harta benda yang diperoleh dalam ikatan perkawinan. Pihak ketiga yang menjadi kreditur perlu mengetahui kedudukan harta kekayaan suami-istri karena berkaitan dengan kepastian terlunasinya piutang.8 Apabila terdapat persatuan bulat harta dari perjanjian perkawinan, maka utang dapat dituntut pelunasannya dari harta persatuan. Sebaliknya apabila tidak terdapat persatuan bulat, maka penututan pelunasan hutang dibebankan kepada pihak yang terlibat saja.
(3) KESIMPULAN
Rasa percaya yang dibangun dan terjalin diantara pasangan suami-istri pada faktanya sangatlah rentan. Sehingga diperlukan adanya perjanjian perkawinan yang berfungsi sebagai tindakan preventif bilamana terjadi konflik di kemudian hari. Mengenai isi atau materi dari perjanjian perkawinan juga ditentukan dan diputuskan oleh suami-istri sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan kaidah sosial. Adanya pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 memberikan akibat terhadap perubahan status hukum harta benda yang diperoleh dalam ikatan perkawinan. Selain putusan MK ini akan berkaitan dengan kepada siapa pihak ketiga (kreditur) akan melakukan penuntutan pelunasan hutangnya.
Daftar Referensi:
- Hanafi Arief, 2017, “Perjanjian Dalam Perkawinan (Sebuah Telaah Terhadap Hukum Positif di Indonesia), Al- Adl: Jurnal Hukum, 9(2), hlm. 153, Diakses melalui: ojs.uniska-bjm.ac.id
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, hlm. 153.
- Pasal 147 KUHPerdata
- Sukardi, 2016, “Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Khatulistiwa, 6(1), hlm. 38, diakses melalui: garuda.ristekdikti.go.id
- Yudistira Adipratama, “Perjanjian Perkawinan: Dasar Hukum, Fungsi, Materi yang diatur, dan Waktu Pembuatan”, diakses pada 9 Juli 2021.
- Haedah Faradz, 2008, “Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan”, Jurnal Dinamika Hukum, 8(3), hlm. 249, diakses melalui: dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id
- Yuniarti, “Urgensi Pemahaman Perjanjian Kawin dan Waris Pasca Putusan MK Departemen Hukum Perdata Melaksanakan Pengabdian Masyarakat di Mojokerto”, diakses pada 9 Juli 2021.
- Candra Hadi Kusuma, 2017, “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 69/PUU-XIII/2015)”, Universitas Malang, hlm. 171, diakses melalui: garuda.ristekdikti.go.id